Malam sebelum dimulainya ujian, aku menerima dua telepon
yang membahagiakan hatiku. Pertama, dari Putri yang mengucapkan semoga berhasil
kepadaku seperti biasa. Telepon kedua dari Syarifa... Ya, Sarifa yang
membisikkan ”Aku mencintaimu,” kepadaku.
Ya. Cinta!
Begitulah yang dibisikkan kepadaku dengan nafas terputus-putus. Berdiri bulu
romaku kala mendengarnya.
Aku terkejut. Sangat, sangat terkejut. Bukan karena aku
tidak mengharapkannya atau tidak menyangkanya. Namun, karena itu adalah kali
pertamanya kudengar dari mulut Syarifa. Aku telah menantikannya enam tahun aku
mengenalnya. Dia mengucapkannya tepat saat aku memerlukannya. Dia seperti tahu
aku sedang merasa kesepian dan penuh ketidakpastian. Mungkin, dia juga tengah
berada dalam keadaan yang sama.
” Aku juga mencintaimu,” jawabku lembut. Air mata
tergenang di kelopak mataku saat itu. Aku juga seperti mendengar tangisan
gembiranya sebelum dia meletakkan gagang telepon.
Biasanya jika aku mendengar ucapan cinta dari anak
remaja, aku akan mengatakan bahwa itu adalah hal cengeng. Namun, saat aku
sendiri mendengar dan mengucapkannya, keikhlasan dan kerelaan yang terpancar
darinya menawarkan kewajiban mengahadapinya dengan kelembutan dan kedewasaan.
Aku terdiam sejenak. Aku mengingat hubunganku dengan Syarifa.
Kami memang tidak pernah mengungkapkan perasaan sejauh ini. Kini, rasanya manis
menikmati hikmah menahan perasaan dan tindakan kami itu. Aku masih tidak
percaya, tapi aku ingin percaya dan terus percaya.
Aku tahu, aku tidak akan mencapai hasil yang gemilang dalam
ujian kali ini. Aku hanya berharap lulus. Bisikan cinta Syarifa telah
memberikan semangat agar aku berusaha semaksimal mungkin meski terasa sulit.
Kadang-kadang, aku merasa tak pantas menerima cintanya. Kali ini, penantianku
berakhir. Ternyata dia mengerti keadaanku. Dia menerimaku apa adanya. Selama
ini dibiarkannya aku membuat keputusan sendiri. Aku lebih matang atas
kepercayaannya. Cintanya seperti malaikat, datang membawa gembira kepadaku.
Alhamdulillah.
Aku menghadapi ujian dengan persiapan dengan maksimal.
Aku mengikuti ujian di kelas sosial, sedangkan Syarifa di kelas sains, jadi
kami tidak berada di kelas yang sama. Aku hanya punya kesempatan bertemu
dengannya saat Kontes Mading Championship minggu depan.
Sepanjang hari-hari ujian, aku juga berusaha tidak
menghubunginya. Aku takut mengganggu konsentrasinya. Meski aku tahu, kami
berdua sama-sama menunggu hari terakhir masa ujian itu.
Kini aku merasa bahagia dan tenang. Ya, tenang. Hanya
dengan Syarifa hatiku merasa tenang.
Tidak! Aku juga merasa tenang ketika bersama Putri, kata
sudut hatiku yang lain.
Tetapi, Putri adalah penasihatku, bukan penghuni hatiku,
jawab sudut hatiku yang telah terisi oleh Syarifa.
”Ah! Begini saja. Aku mencintai keduanya meski dengan
jalan berbeda,” aku tersenyum sendiri. Saat itu, aku merasa sangat beruntung.
Esok sabtu hari ujian telah usai. Kontes Mading Championship
akan diadakan Hari Minggu. Setelah itu, selesailah segala ujian. Aku tidak
sabar menunggunya. Karena Mading Championship tidak mewajibkan untuk belajar,
aku memutuskan untuk jalan-jalan ke Pasir Putih. Aku ingin melapangkan dada dan
pikiranku.
Aku sampai di Pasir Putih pukul sepuluh pagi. Aku
berjalan menuju sebuah kedai untuk membeli sebotol minuman. Saat tengah
berjalan di tepi pantai ,aku melihat sesuatu yang merusak pemandangan mataku.
Ya! Aku melihat Rina di sana. Dia sedang bergandengan tangan dengan Roni. Rina tidak
lagi memakai kerudungnya dan roknya. Dia memakai celana pendek dan blus yang
memperlihatkan sebagian dadanya. Pipinya memakai bedak yang mencolok. Bibirnya
memakai lipstik merah merekah. Astagfirullah!
Aku segera bersembunyi. Aku tidak mau mereka melihatku.
Aku terus memerhatikan mereka. Rina tidak segan-segan memeluk tubuh Roni sambil
berjalan di tepi pantai.
Aku memutuskan untuk kembali pulang saja. Aku sedih
melihat Rina yang kembali pada sikap dan kelakuannya. Tidak ada bekasnya kah
ajaran agama yang disampaikan Ustad Zein padanya? Menurut Rahmad temanku. Hati
Rina saat itu berkobar-kobar dengan
semangat Islam yang dikenalnya. Apakah semua itu hanya sandiwara? Apakah dia
hanya sekedar berakting untuk memgelabuhiku? Ah! Rina dan Roni keduanya memang
pintar akting. Berlagak alim dan penuh semangat. Sekarang, aku juga melihat
akting yang dimainkan oleh mereka.
Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Mungkin, penolakankulah
yang menyebabkan Rina bersikap demikian. Namun, aku ingat pesan Ustad Zein
bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Sudah
jelas, mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Semuanya tinggal
dipilih. Rina telah memilih sendiri untuk kembali ke keadaan seperti itu. Aku
tidak harus jadi merasa bersalah.
Aku merasa tenang. Aku merasa telah lepas dari ancaman
yang pernah diajukan Rina kepadaku. Kini, aku bebas menaruh sepenuhnya
perhatianku kepada Syarifa. Aku bebas mencurahkan cintaku tanpa gangguan
siapapun. Aku mengucapakan syukur kepada Tuhan karena telah memperlihatkan Rina
yang sebenarnya padaku. Wajah Syarifalah yang kini bersinar di hatiku.
Entah mengapa, aku ingin mengabarkan berita gembira ini
pada Putri. Selama ini Putri adalah orang yang terdekat dihatiku. Dia tahu
rahasia dan keinginanku. Aku harus memberi tahu perkembangan terakhir ini. Aku
yakin dia bersedia mendengar dan memberi topangan bagi hatiku. Hatiku melonjak
kegirangan.
Aku lalu menuju sebuah toko setempat yang memiliki
telepon umum. Aku coba menelepon ke rumah Putri. Ibunya yang mengangkat telepon
mengatakan bahwa Putri sedang pergi belajar agama di Masjid Al-Ikhlas.
Aku merasa kecewa bercampur bahagia mendengar kabar itu.
Kecewa karena aku tidak dapat berbicara dengannya. Bahagia karena Putri telah
mengukuti belajar agama diam-diam.
Aku tiba-tiba ingat bahwa Syarifa juga ingin belajar agama
di bawah bimbingan Ustad Zein bersamaku. Aku berjanji akan membawanya ke sana
segera setelah ujian selesai.
Benakku seperti disentuh untuk mengingat sesuatu? Apa
ini? Apakah ini? Apakah ingatan yang tersembunyi di kepalaku dan ingin
kulepaskan ini?
Astagfirullah! Aku hampir lupa dengan undangan ulang
tahun Syarifa yang akan berlangsung empat hari lagi. Aku belum membelikan
Syarifa hadiah. Untung, aku belum beranjak dari daerah sekitar Pusat Mall. Aku
bisa mencari sesuatu untuk kujadikan hadiah buat Syarifa. Tetapi, hadiah apa? Aku
jadi bingung. Apakah hadiah yang sesuai untuk menandakan dimulainya jalinan
kasih antara aku dan Syarifa? Sepertinya cincin saja. Ya, cincin.
Setelah mendapatkan cincin yang pas buat Syarifa akhirnya
aku pulang. Sesampainya di rumah, aku mengucapkan salam. Aku mendengar suara
ibu membalas ucapan salamku, lalu suara gegas kakinya. Pintu dibuka.
”San, cepat, jawab telepon. Gawat!” kata Ibu gugup.
”Dari siapa Bu?”
”Putri. Katanya penting,” jawab ibu singkat.
Ah, Putri. Tidak sabar dia rupanya menungguku menelepon.
Dia pula yang menelepon lebih dulu, bisikku dalam hati.
”Assalamualaikum,”kataku tenang.
”Waalaikumsalam. Hasan ,ya?”
”Ya, Rin. Ada apa nih, meneleponku. Tidak bisa menunggu
aku menelepon sajakah? aku belum sholat
ashar nih,” jawabku.
”San....dengar baik-baik... Aku harap kamu tenang,”
sahutnya dengan suara gugup.
” Aku sudah tenang. Tampaknya, kamu yang tidak tenang,”
jawabku santai. Aku penasaran, mengapa sikap Putri seperti itu.
”San sesuatu yang buruk telah terjadi,” katanya gugup.
Lalu, menangis.
Aku panik. Apa yang telah terjadi? Apa yang menyebabkan
Putri menangis?
” Apa yang terjadi?” Tanyaku dengan resah dan takut.
” Syarifa,” jawabnya pendek.
Hatiku kalut.
”Apa yang terjadi pada Syarifa?”
”San....Syarifa kecelakaan. Sore tadi,” jawab Putri.
Tangisnya semakin kuat terdengar di ujung telepon.
”Apa? Kapan? Dimana?” suaraku simpang siur, sama dengan
keadaan hatiku kini.Gagang telepon lepas dari genggamanku. Tubuhku lemas.
”San!Hasan!” suara Putri cemas. Aku meraih gagang telepon
kembali.
”Di mana Syarifa sekarang?” Aku menangis seperti anak
kecil.
”RSI. Ahmad Husein! ICU... Menurut ayah Syarifa,
kecelakaan itu parah sekali. Syarifa tertabrak truk di belokan jalan raya dekat
sekolah kita,” jelas Putri.
Gagang telepon terepas dariku sekali lagi. Tubuhku
dingin.
Sebelum semuanya gelap, aku mendengar suara bisikan
Syarifa,”Aku mencintaimu.”Ternyata itulah bisikkan terakhir yang kudengar
darinya.
Waktu maghribpun tiba. Aku menghadiri pemakaman Syarifa
di pemakaman Bukit Bidadari. Syarifa adalah bidadari yang meninggalkanku segera
setelah dia membelai hatiku dengan perasaan halus dan indah. Sekarang
tinggallah aku di dunia ini dalam kesunyian dan kesedihan.
Banyak yang hadir disana. Selain saudara dan kerabatnya,
teman-teman sekolah juga hadir. Termasuk Amir, Iryadi dan Rohim. Aku tidak
melihat Putri atau Rina. Mungkin, mereka hanya melawat ke rumahnya saja.
Aku tidak mengerumuni liang lahatnya seperti yang lain.
Saat itu aku merasa sunyi dan kesepian.
Saat aku melihat dari jauh ayah Syarifa melempar tanah ke
liang lahatnya, aku tergerak ingin menjadi tanah itu dan kekal bersemayam
bersama jasadnya. Tampungan kesedihan tergenang di kelopk mataku, tetapi tidak
sampai jatuh. Saat itu, aku melihat duniau gelap pekat. Seolah-olah badai yang
sangat besar tengah menyelubungi hidupku? Mampukah aku Menghadapinya?
Setelah iring-iringan beranjak pulang, aku terpaku
sejenak. Mataku mengikuti gerakan kendaraan yang berlaku perlahan-lahan
meninggalkan kawasan pemakaman. Tinggallah aku sendirian di sana. Suasana
begitu sepi. Hanya terdengar kicauan burung di pepohonan. Aku menghela nafas
panjang. Kini, giliranku untuk menemui kekasihku.
Kemudian, dengan langkah lemah aku berjalan menuju
pusaranya. Setiap langkahku dibebani kepiluan mengenang saat saat manis
bersamanya. Sesampai disisi pusaranya, aku berlutut. Aku memegang nisanya
dengan lembut. Aku menahan diri agar tidak menangis meski dadaku sakit dan
perih.
Aku melhat langit yang terbentang, mencoba bertanya pada Tuhan,
mengapa memanggil Syarifa pada saat aku membutuhkannya? Sinar matahari
menyilaukanku, seolah-olah menjawab pertanyaanku. Mataku berkunang-kunang
sebentar. Aku insaf dan harus ikhlas dengan segala ketentuan Tuhan. Dadaku
semakin perih. Aku beristigfar berkali-kali. Lalu, mengeluarkan kotak kecil
berwarna merah yang kubawa. Ku keluarkan sebentuk cincin perak bermata delima
yang ingin ku hadiahkan pada Syarifa pada hari ulang tahunnya. Ternyata, Aku
tak lagi sempat menyarungkan cincin itu di jari manisnya. Aku merasa kesal
telah dua kali tak dapat menyambut hari istimewa itu bersamanya. Ah, mungkin
sudah suratan takdir.
Aku mencium cincin itu dengan lembut. Kemudian, dengan
membaca basmallah, aku memasukkannya ke dalam tanah yang menutupi pusara
Syarifa. Biarlah cincin itu bersemayam bersama jasadnya.
Setelah membaca doa dan Al-Fatihah dan beberapa doa
lain kepada Allah, aku bertekad untuk dapat bertemu dengannya di akhirat kelak.
Semoga aku dapat melanjutkan bahtera kasih dengannya nanti di surga. Aku bangun
perlahan, lalu menatap pusara Syarifa. Suatu hari nanti, aku juga akan menjadi
tanah sepertinya. Aku insaf, benar-benar insaf. Aku memutar badan untuk
bergerak pulang. Aku mendongakkan kepala, memandang ke depan. (Dadang K./0035)