SIDANG BUKU



KUTIPAN SIDANG BUKU DALAM NOVEL
“GADIS CILIK DI CENDELA”
KARYA: TETSUKO KUROYANAGI

            Kutipan sidang buku dalam novel yang berjudul “GADIS CILIK DI CENDELA” Karya: Tetsuko Kuroyanagi, dengan pemateri Bpk Andri Pitoyo dan Dini Cahyati ; tertanggal 15 April 2014 di Holl kampus dua Universitas Nusantara PGRI Kediri mengupas atau menceritakan tentang:
            Bahwa telah terjadi pemberontakan dalam dunia pendidikan yang melibatkan langsung anak siswa SD kelas satu yang bernama “Totto-Chan”. Totto-Chan adalah anak yang cerdas, pandai dan agresif, tapi sayang; justru dengan kecerdasannya dan keagresifanya tersebut justru membawa mala petaka dirinya sehingga mereka di keluarkan dari sekolahan tersebut. Tapi hal tersebut justru tidak mematahkan pendirian Totto Chan untuk bisa melanjutkan studinya. Dan tiba saatnya, ternyata benar; Totto Chan akhirnya mendapatkan sekolah yang baru.
            Di sekolahan terbaru tersebut Totto Chan sangat senang sekali, karena; sekolahan tersebut memberikan kebebasan siswanya untuk berapresiasi, mengungkapkan emosinya untuk mengikuti kehendak hatinya; tapi masih dalam batas batas kewajaran. Kepala sekolah tempat Totto Chan benimba ilmu sangat salut dan senang melihat siswa barunya tersebut, karena setiap kegiatan KBM, Totto Chan selalu memberi nuansa baru dalam pembelajaran karena keagresifanya tersebut. Hal tersebut di buktikan oleh Totto Chan dengan membuka dan lalu menutup kembali mejanya sampai ratusa kali. Ini di lakukan Totto Chan tidak hanya di sekolahan saja, akan tetapi; di rumahpun kata mamanya Totto Chan juga sering membuka dan menutup mejanya kembali. Jadi menurut mamanya Totto Chan adalah wajar.
            Dari cerita tersebut penulis [Tetsuko Kuroyanagi] berpikiran adanya “PERBEDAAN KONSEP BELAJAR”. Kena apa begitu? Karena penulis di sini lebih mengedepankan aspek kebebasan siswa dalam belajar. Belajar itu harus bernuansa rilek dan bebas tanpa adanya tekanan dan kungkungan. Karena dengan begitu akan merangsang atau memberi peluang kebebasan bagi siswa untuk berapresiasi]. Dan selain itu, kebebasan dalam belajar di pandang sebagai ‘PENENTU KEBERHASILAN DALAM PEMBELAJARAN”.
            Di sini, guru di tuntut piawai dan cerdas dalam mengelola lingkungan belajar dan memahami siswanya secara total atau keseluruhan. Dan perlu di ketahui pula, penulis [di sini  Tetsuko Kuroyanagi] juga tidak sependapat atau memberontak dengan adanya kondisi lingkungan belajar yang penuh dengan aturan dan keseragaman. Tetapi Tetsuko Kuroyanagi lebih mengedepankan konsep “KEBERAGAMAN”[kebebasan siswa dalam berapresiasi]
            Totto Chan di pandang Tetsuko Kuroyanagi merupakan sosok anak yang mempunyai aspek individu dalam menunjukan kemampuan dan potensinya. Selain itu Tetsuko Kuroyanagi berpendapat juga; keberhasilan dalam belajar adalah dengan “MUNCULNYA RASA BAHAGIA DAN NYAMAN DALAM MELAKUKAN AKTIFITAS BELAJAR”. Tidak merasa takut dan tertekan oleh suatu keadaan, situasi, kondisi tertentu yang di desain serta di kemas dalam sebuah aturan yang mengikat. Maka dari itu, Tetsuko Kuruyanagi secara tidak langsung menyampaikan ketidaksetujuanya mengenai hubungan antara guru dan siswa yang otoriter sarat dengan “PERINTAH atau LARANGAN”. Dengan begitu jelas bahwa Novel ini memberikan gambaran betapa indahnya hubungan guru dan siswa, seperti halnya hubungan orang tua dan anak, kakak dengan adik. Demikian juga hubungan siswa dengan siswa yang lain.
            Sekolah seharusnya menjadi rumah keluarga yang indah dan beragam atau sebagai convivium [hidup bersama]. Sekolah bukan tempat kompetisi, melainkan sarana untuk menumbuhkan solidaritas dan kerja sama. Asih, asah dan asuh seharusnya menjadi jiwa dan inspirasi, serta saling memotifasi.
Dari gambaran tersebut memberikan pemahaman baru mengenai fungsi guru dan siswa yang semakin demokratis dan kemampuan para siswa yang mengedepankan pada penataan diri. Menurut Tetsuko Kuruyanagi prinsip percaya kepada bakat-bakat positif dan kemampuan individu menjadi landasan kokoh dalam mengembangkan karakter, potensi dan prestasinya. Prinsip pengembangan anak secara total integral menjadi hal yang paling esensial, maksutnya; pengembangan anak tidak hanya di fokuskan pada aspek pengetahuan [kognitif] saja,akan tetapi dari segi psikomotornyapun juga berperan penting. Dengan begitu, maka kepribadian anak semakin lengkap apabila memperhatikan keseimbangan aspek tersebut.
Maka dari itu, penulis [Tetsuko Kuroyanagi] menolak konsep pembelajaran yang serba kaku, penuh dengan aturan dan system komando. Efek dari pembelajaran model ini, anak akan berwawasan sempit, kaku, emosional dan pasif. Anak di hadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ketat. Sehingga tidak memungkinkan anak untuk bisa berapresiasi lebih luas atau berkembang. Dengan begitu Tetsuko Kuroyanagi lewat Novel Totto Chan Gadis Cilik di Jendela memberikan inspirasi bahwa kegagalan atau ketidakmampuan di pandang sebagai interpretasi yang perlu di hargai. Dengan ungkapan lain, kebebasan di lihat sebagai penentu keberhasilan belajar. Anak adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri sendiri dalam belajar.
Yang terakir, bisa kita ambil simpulan dari Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Cendela; bahwa Novel tersebut telah membuka atau membawa cakrawala pola berpikir kita kususnya dan pembaca pada umumnya, untuk melihat hakikat pembelajaran secara benar dan manusiawi. Semoga rangkuman sederhana ini  bisa membantu pembaca atau pengulas lain untuk mendalami Novel ini sekaligus menggugah pengarang lain untuk terus berkarya. (Dwi Joko Prakoso/2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar